Senin, 29 November 2010

DEMOKRASI JAKARTA !

KEDEWASAAN berpolitik masyarakat Jakarta ditunjukkan pada hasil akhir puncak demokrasi yang dilaksanakan pada 8 Agustus kemarin. Pilkada DKI Jakarta berlangsung aman dan damai. Di sisi lain, kita mencatat di samping hal-hal bersifat positif, ada pula indikasi negatif dalam perspektif partisipasi politik. Dari hasil penghitungan suara resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI dan tafsir suara yang dilakukan lembaga-lembaga independen, persentase golongan putih (golput) mendekati angka 40 persen, persentase tinggi jika dilihat dari tingkat partisipasi politik masyarakat.
Fenomena ini mungkin saja dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan politik masyarakat yang sudah modern seperti Jakarta. Tetapi, kalau kita sedikit meluangkan waktu untuk menelaah lebih dalam, penyikapan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya bukan tanpa alasan. Apatisme politik muncul sebagai akibat dari pemahaman, keyakinan, dan kekecewaan atas proses yang mendahuluinya.
Kita mengikuti, golput atau kelompok yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih adalah produk dari apatisme politik. Mengapa sikap seperti itu yang mesti dipilih? Alasan paling mendasarnya berangkat dari hilangnya kredibilitas dan keyakinan bahwa figur yang ditawarkan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Sejauh yang kita baca, lihat, dan ikuti, proses politik yang mendahului pelaksanaan Pilkada DKI memang tidak cukup elegan, tidak memberi pilihan terbuka bagi masyarakat. Dua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur bisa saja dipandang, dinilai, dan dirasakan bukan sebagai figur yang tepat untuk dipilih sebagai calon pemimpin Jakarta. Kekecewaan itu tidak hanya tertuju pada figur, tetapi juga pada lembaga-lembaga politik yang memiliki otoritas penuh dalam menentukan calon. Proses politik yang dilakukan partai-partai politik itulah, bukan tidak mungkin, yang menyebabkan munculnya apatisme di kalangan sebagian warga Jakarta yang berhimpun di bawah bendera golput.
TINGGINYA persentase golput pada Pilkada DKI pertama ini sesungguhnya berkorelasi dengan tingkat kesahihan pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Dengan persentase golput yang tinggi hingga hampir mencapai 40 persen dapat ditafsirkan sejatinya KPUD DKI tidak cukup capable dalam menyelenggarakan Pilkada DKI. KPUD DKI akan dikatakan berhasil menyelenggarakan Pilkada DKI manakala tingkat partisipasi rakyat Jakarta tidak menyisakan angka 40 persen kelompok golput. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan dengan persentase golput yang mendekati angka 40 persen berarti partisipasi warga Jakarta sangat rendah.
Fenomena ini tetap berkategori negatif. Interpretasi umumnya demikian. Tetapi, haruskah kita selalu berpandangan demikian untuk menilai sikap kelompok golput tersebut? Secara substansial persepsi itu harus diluruskan. Pada hakikatnya, orang memilih untuk tidak memilih sesungguhnya adalah bentuk aktualisasi protes, ketidaksetujuan, dan sebuah peringatan yang disampaikan bahwa ada yang tidak beres dalam proses politik yang berjalan.
Protes bisa dipahami sebagai sebuah langkah peringatan kesekian kalinya setelah peringatan-peringatan awal tidak mendapatkan perhatian setimpal.
Mereka yang mengambil posisi golput hanya tidak menggunakan hak pilihnya, bukan seluruh haknya sebagai warga negara. Kita tahu, banyak hak warga negara di samping hak pilih, seperti hak berorganisasi, mengeluarkan berpendapat, memperoleh pendidikan, dan lain-lain. Kita semua juga tahu, bahwa dengan tidak menggunakan hak pilih orang tidak harus kehilangan hak warga negaranya yang lain.
Golput memang bukan sikap yang ideal, karenanya kita sayangkan jika sikap itu yang harus dipilih. Masalahnya, sejauh sumber cara berpolitik belum lurus benar, sejauh itu pula muncul apatisme politik di kalangan masyarakat. Demokrasi yang baik adalah menghilangkan sumber dan inti persoalan yang menimbulkan apatisme dan golput. O

Kamis, 25 November 2010

Peran saya dalam KELUARGA :)

Keluarga bagi saya mempunyai peran yang sangat penting, karena jika kita tidak mempunyai keluarga, hidup ini akan terasa sangat HAMPA. Saya memiliki 4 bersaudara, dimana saya lahir sebagai anak ke3. orangtua saya sudah memasuki umur 50an (haaaah, sudah tua juga yaaa) hehe.

Kedua orang tua saya, sangat memiliki peran yang sangat PENTING, dikeluarga ini. karena tanpa mereka mungkin aku, kakak serta adik ku tidak ada didunia ini (heheee). selain itu, kedua orang tua ku selalu berusaha bekerja sampai larut malam, hanya untuk menafkahi keluarganya. Kalo mau dibilang saya sangat terharu melihat pengorbanan mereka yang tiada hentinya buat kami. 

Disini saya juga mempunya 2 kakak perempuan dan 1 adik laki-laki. Tadinya kami pikir aku anak terakhir, tapi tanpa sengaja adik ku pun hadir diantara kami, hehe ! Kakak pertama ku sudah memiliki keluarga, sekarang dia tidak tinggal dengan kami, sedangkan kakak kedua ku. dia ada diluar negeri untuk bekerja (heeem, aku sangat merindukannya). Jadi kami dirumah hanya sisa ber-empat, yaitu mami, papi, aku dan adik ku. 

Mengingat adik ku masih kelas 6 SD, dan kedua orang tua ku yang bekerja banting tulang untuk membiayai sekolah kami. aku merasa harus membantu mereka. oleh sebab itu, aku setiap pulang kuliah, aku jarang sekali untuk pergi bersama teman-teman ku. karena, aku ingat bahwa adik ku berada sendirian dirumah :( ! 
Peran ku terhadap keluarga, hanya satu yang aku pikirkan, bagaimana cara aku bisa membanggakan kedua orang tua ku, tanpa mengecewakannya. diantara kakak-kakak ku yang lain, hanya aku yang kuliah. keduanya, tidak mau kuliah mereka memutuskan untuk langsung kerja. tadinya pun aku ingin mengikuti jejak mereka, tapi kedua orang tua ku tidak mengijinkannya. 

Apa boleh buat, karena tujuanku ingin membanggakan mereka, maka aku pun memutuskan untuk kuliah. dan aku akan membuat mereka bangga dengan hasil yang akan aku dapatkan dari sarjana Teknik Informatika ini :).


Rabu, 24 November 2010

Pidato Obama di kampus UI - depok

Inilah Isi Lengkap Pidato Obama di Kampus UI - Pidato Presiden AS Barack Obama di kampus UI pagi tadi (10/10) cukup menyita perhatian. Maklum, tak bisa dipungkiri Omaba memiliki keterkaitan emosional dengan Indonesia karena semasa kecil pernah tinggal di Jakarta. Berikut isi lengkap pidato Obama tersebut.
Terima kasih atas sambutan yang hangat ini. Terima kasih kepada semua penduduk Jakarta. Dan terima kasih bagi seluruh bangsa Indonesia.



Saya senang akhirnya bisa berkunjung ke negeri ini dengan ditemani oleh Michelle. Tahun ini, kami telah dua kali gagal datang ke Indonesia. Namun, saya berkeras untuk menyambangi sebuah negeri yang amat bermakna bagi saya ini. Sayangnya, lawatan ini begitu singkat. Tapi saya berharap bisa datang lagi tahun depan pada saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur.

Sebelum berbicara lebih jauh, saya ingin menyampaikan bahwa doa dan perhatian kami tertuju kepada para korban bencana tsunami dan gunung meletus baru-baru ini, khususnya bagi mereka yang kehilangan orang tercinta serta tempat tinggal. Amerika Serikat senantiasa ada di sisi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana alam ini, dan kami akan dengan senang hati menolong semampunya. Sebagaimana tetangga yang mengulurkan tangan kepada tetangganya yang lain, dan banyak keluarga menampung orang-orang yang kehilangan rumah, saya tahu bahwa kekuatan dan ketahanan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan sanggup mengangkat kalian keluar dari kesusahan ini.

Saya akan memulai dengan pernyataan sederhana: Indonesia bagian dari diri saya. Pertama kali saya bersentuhan dengan negeri ini adalah ketika ibu saya menikahi seorang pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Sebagai seorang bocah, saya terdampar di sebuah dunia yang berbeda. Namun, orang-orang di sini membuat saya merasa berada di rumah saya sendiri.

Pada masa itu, Jakarta terlihat begitu berbeda. Kota ini disesaki gedung-gedung yang tak begitu tinggi. Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi. Kala itu, ada sebuah pusat perbelanjaan baru bernama Sarinah. Jumlah becak jauh lebih banyak daripada kendaraan bermotor. Dan jalan raya tersisih oleh jalan-jalan kampung tak beraspal.

Kami tinggal di Menteng Dalam, pada sebuah rumah mungil yang halamannya ditumbuhi sebatang pohon mangga. Saya belajar mencintai Indonesia pada saat menerbangkan layang-layang, berlarian di sepanjang pematang sawah, menangkap capung, dan jajan sate atau bakso dari pedagang keliling. Yang paling saya kenangkan adalah orang-orangnya: lelaki dan perempuan sepuh yang menyapa kami dengan senyumnya; anak-anak yang membuat seorang asing seperti saya jadi seperti tetangga; dan guru-guru yang mengajarkan keluasan dunia.

Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, dan orang-orang dari berbagai daerah dan suku, periode saya tinggal di negeri ini melapangkan jalan bagi saya menghargai kemanusiaan. Walau ayah tiri saya, sebagaimana orang Indonesia umumnya, dibesarkan sebagai seorang Muslim, ia sepenuhnya percaya bahwa semua agama patut dihargai secara setara. Dengan cara itu, ia mencerminkan semangat toleransi keberagamaan yang diabadikan dalam Undang-undang Dasar Indonesia yang tetap menjadi salah satu ciri negeri ini, yang tentunya memberi inspirasi.

Saya tinggal di kota ini selama bertahun-tahun -- sungguh suatu masa yang membentuk masa kecil saya; suatu masa yang menjadi saksi bagi kelahiran adik saya yang manis, Maya; dan suatu masa yang telah memesona ibu saya sehingga ia terus-menerus menghampiri Indonesia 20 tahun kemudian untuk tinggal, bekerja dan bepergian - mengejar hasratnya mendorong terbukanya kesempatan di pedesaan Indonesia khususnya bagi perempuan. Sepanjang hidupnya, negeri ini, beserta orang-orangnya, tetap tersimpan di hati ibu saya.

Begitu banyak yang berubah dalam empat dekade ini sejak saya kembali ke Hawaii. Jika kalian bertanya kepada saya - atau teman sekolah pada masa itu yang mengenal saya - saya yakin tak ada di antara kami yang mampu menyangka bahwa saya akan kembali ke negeri ini sebagai Presiden Amerika Serikat. Dan beberapa orang semestinya bisa meramalkan kisah luar biasa yang melibatkan Indonesia dalam empat dekade terakhir.

Jakarta yang dahulu saya kenal kini telah berkembang menjadi sebuah kota yang dijejali hampir sepuluh juta manusia, gedung-gedung pencakar langit yang membuat Hotel Indonesia terlihat kerdil, serta pusat-pusat kebudayaan dan perdagangan. Dulu saya dan kawan-kawan semasa kanak biasa berkejar-kejaran di lapangan ditemani kerbau dan kambing. Kini, generasi baru Indonesia termasuk dalam golongan paling terhubung dalam jagat komunikasi dunia melalui telepon genggam dan media sosial. Dulu, Indonesia sebagai bangsa yang masih muda berfokus ke dalam. Kini, bangsa ini memainkan peran penting di kawasan Asia-Pasifik dan ekonomi global.

Perubahan ini menjangkau ranah politik. Waktu ayah tiri saya masih kanak, ia menyaksikan ayah dan abangnya pergi berperang dan tewas demi kemerdekaan Indonesia. Saya lega bisa ada di sini tepat ketika Hari Pahlawan untuk mengingat jasa begitu banyak orang Indonesia yang rela berkorban demi negara yang besar ini.

Ketika saya pindah ke Jakarta pada tahun 1967, beberapa daerah di negeri ini baru saja mengalami penderitaan dan konflik yang hebat. Meski ayah tiri saya pernah menjadi seorang tentara, kekerasan dan pembantaian yang terjadi pada masa kekisruhan politik itu tak dapat saya pahami karena keluarga Indonesia dan teman-teman saya memilih bungkam. Di dalam rumah tangga saya, seperti keluarga Indonesia umumnya, peristiwa itu hadir secara sembunyi-sembunyi. Bangsa Indonesia merdeka, tapi rasa takut senantiasa mengikuti.

Pada masa-masa sesudahnya, Indonesia memilih jalurnya sendiri melalui tranformasi demokratis yang luar biasa - dari pemerintahan tangan besi, ke pemerintahan rakyat. Tahun-tahun belakangan, dunia menyaksikan dengan harapan dan rasa kagum usaha bangsa Indonesia merengkuh peralihan kekuasaan dengan jalan damai dan pemilihan kepala negara serta daerah secara langsung. Ketika demokrasi di negeri ini disimbolkan oleh terpilihnya Presiden dan wakil rakyat, ketika itu pula demokrasi dijalankan dan dipelihara melalui kontrol dan keseimbangan (check dan balance): Sebuah masyarakat madani, partai dan serikat politik yang madani; media dan warga negara penuh semangat yang telah yakin bahwa - di dalam Indonesia - tak ada lagi jalan memutar.

Bahkan ketika tanah tempat kemudaan saya pernah berlalu ini telah berubah banyak, hal-hal yang pernah saya pelajari untuk mencintai Indonesia - semangat toleransi yang tercantum dalam Undang-undang Dasar dan terpacak melalui masjid, gereja dan candi, pun tertanam dalam darah bangsa - masih mengalir di tubuh saya. Bhinneka Tunggal Ika - persatuan dalam keragaman. Falsafah itu merupakan pondasi yang dicontohkan Indonesia kepada dunia. Itu sebabnya Indonesia akan memainkan peran penting pada abad ke-21.

Hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai seorang sahabat sekaligus Presiden yang mengharapkan terjalinnya kerja sama erat antar kedua negara. Sebagai negara yang luas dan majemuk, berdamping-dampingan dengan Samudera Pasifik dan, di atas itu semua, demokrasi, Amerika Serikat dan Indonesia ditakdirkan bersama oleh kepentingan dan nilai-nilai yang sama.

Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya menyetujui Kerja Sama Komprehensif yang baru antara Amerika Serikat dan Indonesia. Pemerintahan kedua negara mempererat hubungan di berbagai bidang dan, yang juga penting, memperkuat hubungan antar bangsa. Kerja sama ini tentunya berdasar atas rasa saling membutuhkan dan saling menghormati.

Dengan sisa waktu yang saya miliki hari ini, saya ingin berbagi tentang mengapa kisah yang baru saja saya utarakan begitu penting bagi Amerika Serikat dan dunia. Saya ingin menitikberatkan pembahasan pada tiga hal yang saling berkait-erat serta mendasar bagi kemajuan manusia: Pembangunan, demokrasi dan agama.

Pertama, persahabatan yang terjalin antara Amerika Serikat dan Indonesia dapat memajukan pembangunan yang saling menguntungkan.

Ketika saya hidup di Indonesia, sulit membayangkan sebuah masa depan dimana kemakmuran yang dirasakan oleh banyak keluarga di Chicago dan Jakarta akan berhubungan. Kini, kita ada pada zaman ekonomi global. Bangsa Indonesia telah merasakan risiko dan harapan dari globalisasi: Mulai dari krisis ekonomi Asia yang terjadi pada akhir tahun 1990, dan jutaan orang yang berhasil bangkit dari kemiskinan. Artinya, dan yang akhirnya kita pelajari dari krisis ekonomi barusan, masing-masing dari kita memiliki sumbangsih pada keberhasilan yang diraih pihak lain.

Amerika memiliki sumbangsih terhadap sebagian dari Indonesia yang merasakan kemakmuran, karena tumbuhnya kelas menengah di sini juga berarti timbulnya pasar bagi produk-produk kami seperti juga Amerika merupakan pasar bagi Indonesia. Karena itu, kami menanamkan modal lebih banyak di Indonesia. Ekspor dari Amerika telah naik 50 persen, dan kami membuka pintu bagi pengusaha Amerika dan Indonesia untuk saling berhubungan.

Amerika memiliki sumbangsih terhadap Indonesia, yang memainkan peranannya dalam perekonomian global. Hari-hari ketika tujuh atau delapan negara membentuk kelompok dan menentukan arah perekonomian dunia telah berlalu. Karena itulah saat ini G-20 telah menjadi pusat kerja sama ekonomi internasional: Hal yang memungkinkan negeri seperti Indonesia memiliki suara lebih nyaring dan tanggung jawab lebih besar. Melalui kepemimpinan Indonesia di dalam kelompok G-20 yang memerangi korupsi, negeri ini harus ada di depan pada panggung dunia dengan memberikan contoh baik dalam mempraktikkan transparansi dan akuntabilitas.

Amerika memiliki sumbangsih terhadap Indonesia yang mengejar pembangunan berkelanjutan. Karena cara kita bertumbuh akan mempengaruhi kualitas hidup kita serta kesejahteraan planet yang kita diami. Karena itulah kita mengembangkan teknologi untuk menghasilkan energi bersih yang mampu menopang industri dan menjaga sumber daya alam Indonesia. Amerika menyambut kepemimpinan negeri anda dalam usaha global memerangi perubahan iklim.

Di atas itu semua, Amerika memiliki sumbangsih terhadap keberhasilan manusia Indonesia. Kita harus membangun jembatan yang menghubungkan kedua bangsa karena kita akan berbagi jaminan dan kemakmuran di masa nanti. Itu yang kini sedang kita rintis: Meningkatkan kolaborasi antara ilmuwan dan peneliti kita serta bekerja sama memelihara kewirausahaan. Saya pribadi puas karena kita berhasil meningkatkan jumlah pelajar Amerika dan Indonesia yang meneruskan pendidikan di universitas-universitas yang ada pada kedua negara.

Baru saja saya bicarakan masalah-masalah penting dalam kehidupan kita. Lagipula, pembangunan tak melulu hanya berhubungan dengan tingkat pertumbuhan dan angka-angka dalam neraca. Pembangunan juga menyangkut bagaimana seorang anak mampu mempelajari keahlian yang mereka butuhkan untuk menghadapi dunia yang selalu berubah. Pembangunan berkaitan dengan bagaimana gagasan baik dapat diwujudkan dan tak tercemar dengan korupsi. Pembangunan juga berhubungan dengan bagaiman kekuatan-kekuatan yang telah mengubah Jakarta yang pernah saya kenal - teknologi, perdagangan, arus keluar-masuk orang dan barang - mampu membuat hidup orang jadi lebih baik: Kehidupan uang ditandai dengan martabat dan kesempatan.

Pembangunan semacam itu tak mampu dipisahkan dari demokrasi.

Kini, kita sering mendengar bahwa demokrasi menghalangi pertumbuhan ekonomi. Ini bukanlah alasan baru. Orang akan berkata, khususnya di tengah perubahan dan kondisi ekonomi tak menentu, bahwa pembangunan akan lebih mudah dijalankan dengan mengorbankan hak asasi manusia. Tapi, saya tak melihat itu di India, juga Indonesia. Apa yang kalian telah raih menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan saling menopang.

Seperti laiknya demokrasi di negara lain, halangan selalu merintangi. Amerika juga mengalaminya. Undang-undang Dasar yang kami miliki menyatakan upaya untuk menempa "penyatuan lebih sempurna." Kami telah menempuh perjalanan untuk meraih itu. Kami melewati Perang Saudara dan berjuang menegakkan hak-hak pribadi warga negara Amerika Serikat. Usaha itu kemudian membuat kami lebih kuat dan sejahtera serta menjadi sebuah masyarakat yang lebih adil dan bebas.

Seperti negara lain yang bangkit dari pemerintahan kolonial di abad lalu, Indonesia berjuang dan berkorban demi memiliki hak menentukan nasib sendiri. Itulah makna Hari Pahlawan sesungguhnya: Sebuah Indonesia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tapi, secara bersamaan, kemerdekaan yang telah didapatkan itu tak pula berarti menggantikan kekuatan kolonial dengan kekuatan pemerintahan lokal.

Tentunya, demokrasi morat-marit. Tak semua pihak menyukai hasil akhir suatu pemilihan umum. Kalian semua mengalami segala suka dan duka. Namun, perjalanan itu patut dilewati karena tak hanya melulu mengenai surat suara. Butuh lembaga yang kuat untuk mengontrol pemusatan kekuatan. Butuh pasar terbuka untuk memungkinkan banyak individu maju. Butuh pers dan sistem peradilan yang independen. Butuh masyarakat terbuka dan warga negara yang aktif untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan.

Yang demikian adalah kekuatan yang akan mendorong Indonesia. Korupsi harus dilawan. Komitmen pada keterbukaan, yang memungkinkan tiap warga memiliki sumbangsih terhadap pemerintahannya, mesti ada. Kepercayaan bahwa kemerdekaan yang telah direbut merupakan hal yang tetap menyatukan negeri ini harus ditumbuhkan.

Itu adalah pesan dari manusia Indonesia yang telah memajukan kisah demokratis ini: Dari mereka yang berperang di Surabaya 55 tahun lampau; kepada para mahasiswa yang tergabung dalam demonstrasi tahun 1990an; kepada para pemimpin yang telah berhasil menjalani transisi kekuasaan secara damai pada awal abad ini. Karena, akhirnya, para warga negara memiliki hak untuk menyatukan Nusantara, yang membentang sepanjang Sabang dan Merauke: Sebuah penegasan bahwa setiap bayi yang lahir di negeri ini wajib diperlakukan dengan adil meski mereka berketurunan Jawa, Aceh, Bali atau Papua.

Upaya-upaya semacam itu ditunjukkan Indonesia kepada dunia. Negeri ini berinisiatif membentuk Forum Demokrasi Bali, sebuah forum bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dalam menjaga demokrasi. Indonesia juga telah berusaha menekan ASEAN memperhatikan hak asasi manusia. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara berhak menentukan takdirnya sendiri dan Amerika Serikat akan mendukung upaya itu. Namun, warga Asia Tenggara harus pula memiliki hak menentukan nasib mereka sendiri. Itu sebabnya kami mengutuk pemilihan umum di Burma, yang jauh dari kebebasan maupun keadilan. Itu sebabnya kami menyokong masyarakat madani yang penuh semangat di negeri ini. Tidak ada alasan untuk mencegah penegakan hak asasi manusia di manapun.

Itulah pembangunan dan demokrasi - gagasan bahwa ada nilai-nilai yang sifatnya universal. Kemakmuran tanpa kemerdekaan adalah bentuk lain dari kemiskinan. Manusia memiliki cita-cita bersama: Kebebasan untuk tahu bahwa pemimpinmu bertanggung jawab atasmu dan bahwa anda takkan dibui bila memiliki pandangan yang berseberangan dengannya. Anda memiliki kesempatan belajar dan bekerja dengan kemuliaan. Anda bebas menjalankan kepercayaan yang anda anut tanpa takut dikucilkan.

Agama merupakan topik terakhir yang akan saya bicarakan hari ini dan, seperti layaknya demokrasi dan pembangunan, merupakan hal mendasar bagi kisah Indonesia.

Seperti negara Asia lain yang saya kunjungi, Indonesia tenggelam dalam spiritualitas: Sebuah tempat manusia menyembah Tuhan dengan berbagai cara. Sejalan dengan keberagamannya, Indonesia juga negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia - hal yang telah saya ketahui sejak kecil ketika mendengar lantunan azan di Jakarta.

Suatu Individu tak hanya didefinisikan berdasarkan kepercayaannya. Begitu pula Indonesia. Negeri ini tidak hanya ditetapkan berdasarkan penduduk Muslimnya. Kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat Islam telah lama rusak. Sebagai Presiden, saya mendahulukan perbaikan atas hubungan yang rusak ini. Salah satu upaya itu adalah kunjungan ke Kairo pada bulan Juni yang lalu dan keinginan untuk memulai lagi hubungan yang baru antara Amerika Serikat dan umat Islam sedunia.

Waktu itu saya bilang, dan akan saya ulangi sekarang, bahwa tak ada satu pidato pun yang dapat menghapuskan tahun-tahun penuh ketidakpercayaan. Tapi waktu itu saya percaya, demikian pula sekarang, bahwa kita punya pilihan. Kita bisa memilih untuk bisa menetapkan diri kita berdasarkan perbedaan-perbedaan yang kita miliki dan menyerah pada masa depan yang penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan. Atau kita bisa memilih untuk bekerja keras demi memelihara persamaan hak. Saya berjanji, apapun rintangannya, Amerika Serikat akan berkomitmen memajukan manusia. Itulah kami. Kami telah melakukannya. Kami akan terus menjalankannya.

Kami tahu baik masalah-masalah yang menyebabkan adanya tekanan bertahun-tahun ini. Kami telah menciptakan kemajuan setelah 17 bulan pemerintahan. Tapi, pekerjaan belum selesai.

Banyak warga tak berdosa di Amerika, Indonesia dan belahan dunia lainnya masih menjadi target kaum ekstremis. Saya telah menegaskan bahwa Amerika tidak sedang memerangi, dan takkan terlibat perang dengan, Islam. Namun, kita semua harus menghancurkan Al-Qaeda dan antek-anteknya. Siapapun yang ingin membangun tak boleh bekerja sama dengan teroris. Ini bukanlah tugas Amerika sendiri. Indonesia telah berhasil memerangi para teroris dan aliran garis keras.

Di Afghanistan, kami terus bekerja bersama beberapa negara untuk membantu pemerintah Afghanistan meretas masa depannya. Kepentingan kami di sana adalah memungkinkan terwujudnya perdamaian yang pada akhirnya mampu memunculkan harapan bagi negeri itu.

Kami juga telah mencatat kemajuan dalam salah satu komitmen utama kami: Upaya mengakhiri perang di Irak. 100 ribu tentara Amerika telah meninggalkan negeri itu. Penduduk Irak telah memiliki tanggung jawab penuh atas keamanan mereka. Kami terus mendukung Irak dalam prosesnya membentuk pemerintahan yang inklusif. Kami juga akan memulangkan seluruh tentara AS.

Di Timur Tengah, kami telah menghadapi permulaan yang gagal serta halangan. Namun, kami juga terus menjaga upaya merengkuh perdamaian. Bangsa Israel dan Palestina memulai kembali perundingan. Namun, masih ada masalah besar di sana. Ilusi bahwa kedamaian dan keamanan akan datang dengan mudah tak boleh muncul. Tapi, singkirkanlah keragu-raguan: Kami takkan menyia-nyiakan kesempatan untuk memperoleh hasil yang adil bagi semua pihak yang bertikai: Dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan secara damai dan sentosa.

Penyelesaian atas masalah-masalah itu memiliki taruhan yang besar. Dunia yang kita huni telah menjadi kian kecil. Sementara kekuatan-kekuatan yang menghubungkan kita membuka kesempatan, kekuatan-kekuatan itu juga menyokong pihak yang ingin menghambat kemajuan. Sebuah bom di tengah pasar melumpuhkan kegiatan jual-beli. Sepotong gosip dapat mengaburkan kebenaran dan memicu kekerasan di tengah masyarakat yang sebelumnya hidup rukun. Di zaman ini, ketika perubahan begitu cepat dan berbagai budaya berbenturan, apa yang kita bagikan sebagai manusia dapat musnah.

Saya percaya bahwa sejarah Indonesia dan Amerika mampu memberikan kita harapan. Kisah keduanya tertulis dalam semboyan yang dimiliki oleh negara kita masing-masing. E pluribus unum - beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika - persatuan dalam keberagaman. Kita dua bangsa yang mengambil jalan masing-masing. Namun kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah satu bendera. Dan kita sekarang membangun kemanusiaan melalui anak-anak muda yang akan melalui pendidikan di sekolah masing-masing; melalui wirausahawan yang saling berhubungan demi meraih kemakmuran; dan melalui upaya kita memeluk nilai-nilai demokrasi serta cita-cita manusiawi.

Tadi saya mampir ke Masjid Istiqlal. Rumah ibadah itu masih dalam pengerjaan ketika saya tinggal di Jakarta. Saya mengagumi menaranya yang menjulang, kubah yang megah, serta tempatnya yang lapang. Namun, nama serta sejarahnya juga menjadi saksi kebesaran Indonesia. Istiqlal maknanya kemerdekaan. Bangunan itu sebagiannya merupakan wasiat perjuangan sebuah bangsa menuju kemerdekaan. Terlebih lagi, masjid itu dibangun oleh seorang arsitek Kristen.

Itulah semangat Indonesia. Itulah pesan yang diimbuhkan dalam Pancasila. Di sebuah negeri kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Tuhan yang paling elok, pulau-pulau yang menyembul dari samudera, orang bebas memilih Tuhan yang ingin mereka sembah. Islam berkembang, begitu pula ajaran lain. Pembangunan diperkuat oleh demokrasi yang sedang berkembang. Tradisi purba terpelihara meski sebuah kekuatan sedang lahir.

Tapi bukan berarti Indonesia negeri sempurna. Tak ada satu negeri pun yang bisa. Tapi di sini ras, wilayah, dan agama yang berbeda mampu dijembatani. Sebagai seorang bocah yang berasal dari suatu ras dan datang dari sebuah negeri yang jauh, saya menemukan semangat untuk melihat diri sebagai seorang individu dalam ucapan "Selamat Datang". Sebagai seorang pemeluk Kristiani yang mengunjungi masjid, saya mengutip pendapat seseorang yang ditanyai tentang kunjungan saya: "Orang Islam juga boleh masuk gereja. Kita semua adalah umat Tuhan."

Ungkapan itu mencetuskan gagasan bahwa sifat ketuhanan ada di dalam diri kita. Kita tak boleh menyerah pada penyangkalan atau sinisisme atau keputusasaan. Kisah yang melibatkan Indonesia dan Amerika menunjukkan kepada kita bahwa sejarah mengikuti perkembangan manusia; bahwa persatuan lebih kuat daripada perpecahan; dan bahwa warga dunia dapat hidup dengan damai. Semoga kedua negeri kita dapat terus bekerja sama, dengan kepercayaan dan determinasi, menyebarkan kebenaran-kebenaran ini dengan seluruh manusia.




http://dunia-remaja-sehat.blogspot.com/2010/11/isi-lengkap-pidato-obama-di-kampus-ui.html