KEDEWASAAN berpolitik masyarakat Jakarta ditunjukkan pada hasil akhir puncak demokrasi yang dilaksanakan pada 8 Agustus kemarin. Pilkada DKI Jakarta berlangsung aman dan damai. Di sisi lain, kita mencatat di samping hal-hal bersifat positif, ada pula indikasi negatif dalam perspektif partisipasi politik. Dari hasil penghitungan suara resmi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI dan tafsir suara yang dilakukan lembaga-lembaga independen, persentase golongan putih (golput) mendekati angka 40 persen, persentase tinggi jika dilihat dari tingkat partisipasi politik masyarakat.
Fenomena ini mungkin saja dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan politik masyarakat yang sudah modern seperti Jakarta. Tetapi, kalau kita sedikit meluangkan waktu untuk menelaah lebih dalam, penyikapan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya bukan tanpa alasan. Apatisme politik muncul sebagai akibat dari pemahaman, keyakinan, dan kekecewaan atas proses yang mendahuluinya.
Kita mengikuti, golput atau kelompok yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih adalah produk dari apatisme politik. Mengapa sikap seperti itu yang mesti dipilih? Alasan paling mendasarnya berangkat dari hilangnya kredibilitas dan keyakinan bahwa figur yang ditawarkan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Sejauh yang kita baca, lihat, dan ikuti, proses politik yang mendahului pelaksanaan Pilkada DKI memang tidak cukup elegan, tidak memberi pilihan terbuka bagi masyarakat. Dua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur bisa saja dipandang, dinilai, dan dirasakan bukan sebagai figur yang tepat untuk dipilih sebagai calon pemimpin Jakarta. Kekecewaan itu tidak hanya tertuju pada figur, tetapi juga pada lembaga-lembaga politik yang memiliki otoritas penuh dalam menentukan calon. Proses politik yang dilakukan partai-partai politik itulah, bukan tidak mungkin, yang menyebabkan munculnya apatisme di kalangan sebagian warga Jakarta yang berhimpun di bawah bendera golput.
TINGGINYA persentase golput pada Pilkada DKI pertama ini sesungguhnya berkorelasi dengan tingkat kesahihan pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Dengan persentase golput yang tinggi hingga hampir mencapai 40 persen dapat ditafsirkan sejatinya KPUD DKI tidak cukup capable dalam menyelenggarakan Pilkada DKI. KPUD DKI akan dikatakan berhasil menyelenggarakan Pilkada DKI manakala tingkat partisipasi rakyat Jakarta tidak menyisakan angka 40 persen kelompok golput. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan dengan persentase golput yang mendekati angka 40 persen berarti partisipasi warga Jakarta sangat rendah.
Fenomena ini tetap berkategori negatif. Interpretasi umumnya demikian. Tetapi, haruskah kita selalu berpandangan demikian untuk menilai sikap kelompok golput tersebut? Secara substansial persepsi itu harus diluruskan. Pada hakikatnya, orang memilih untuk tidak memilih sesungguhnya adalah bentuk aktualisasi protes, ketidaksetujuan, dan sebuah peringatan yang disampaikan bahwa ada yang tidak beres dalam proses politik yang berjalan.
Protes bisa dipahami sebagai sebuah langkah peringatan kesekian kalinya setelah peringatan-peringatan awal tidak mendapatkan perhatian setimpal.
Mereka yang mengambil posisi golput hanya tidak menggunakan hak pilihnya, bukan seluruh haknya sebagai warga negara. Kita tahu, banyak hak warga negara di samping hak pilih, seperti hak berorganisasi, mengeluarkan berpendapat, memperoleh pendidikan, dan lain-lain. Kita semua juga tahu, bahwa dengan tidak menggunakan hak pilih orang tidak harus kehilangan hak warga negaranya yang lain.
Golput memang bukan sikap yang ideal, karenanya kita sayangkan jika sikap itu yang harus dipilih. Masalahnya, sejauh sumber cara berpolitik belum lurus benar, sejauh itu pula muncul apatisme politik di kalangan masyarakat. Demokrasi yang baik adalah menghilangkan sumber dan inti persoalan yang menimbulkan apatisme dan golput. O
Fenomena ini mungkin saja dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan politik masyarakat yang sudah modern seperti Jakarta. Tetapi, kalau kita sedikit meluangkan waktu untuk menelaah lebih dalam, penyikapan warga yang tidak menggunakan hak pilihnya bukan tanpa alasan. Apatisme politik muncul sebagai akibat dari pemahaman, keyakinan, dan kekecewaan atas proses yang mendahuluinya.
Kita mengikuti, golput atau kelompok yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih adalah produk dari apatisme politik. Mengapa sikap seperti itu yang mesti dipilih? Alasan paling mendasarnya berangkat dari hilangnya kredibilitas dan keyakinan bahwa figur yang ditawarkan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Sejauh yang kita baca, lihat, dan ikuti, proses politik yang mendahului pelaksanaan Pilkada DKI memang tidak cukup elegan, tidak memberi pilihan terbuka bagi masyarakat. Dua pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur bisa saja dipandang, dinilai, dan dirasakan bukan sebagai figur yang tepat untuk dipilih sebagai calon pemimpin Jakarta. Kekecewaan itu tidak hanya tertuju pada figur, tetapi juga pada lembaga-lembaga politik yang memiliki otoritas penuh dalam menentukan calon. Proses politik yang dilakukan partai-partai politik itulah, bukan tidak mungkin, yang menyebabkan munculnya apatisme di kalangan sebagian warga Jakarta yang berhimpun di bawah bendera golput.
TINGGINYA persentase golput pada Pilkada DKI pertama ini sesungguhnya berkorelasi dengan tingkat kesahihan pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Dengan persentase golput yang tinggi hingga hampir mencapai 40 persen dapat ditafsirkan sejatinya KPUD DKI tidak cukup capable dalam menyelenggarakan Pilkada DKI. KPUD DKI akan dikatakan berhasil menyelenggarakan Pilkada DKI manakala tingkat partisipasi rakyat Jakarta tidak menyisakan angka 40 persen kelompok golput. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan dengan persentase golput yang mendekati angka 40 persen berarti partisipasi warga Jakarta sangat rendah.
Fenomena ini tetap berkategori negatif. Interpretasi umumnya demikian. Tetapi, haruskah kita selalu berpandangan demikian untuk menilai sikap kelompok golput tersebut? Secara substansial persepsi itu harus diluruskan. Pada hakikatnya, orang memilih untuk tidak memilih sesungguhnya adalah bentuk aktualisasi protes, ketidaksetujuan, dan sebuah peringatan yang disampaikan bahwa ada yang tidak beres dalam proses politik yang berjalan.
Protes bisa dipahami sebagai sebuah langkah peringatan kesekian kalinya setelah peringatan-peringatan awal tidak mendapatkan perhatian setimpal.
Mereka yang mengambil posisi golput hanya tidak menggunakan hak pilihnya, bukan seluruh haknya sebagai warga negara. Kita tahu, banyak hak warga negara di samping hak pilih, seperti hak berorganisasi, mengeluarkan berpendapat, memperoleh pendidikan, dan lain-lain. Kita semua juga tahu, bahwa dengan tidak menggunakan hak pilih orang tidak harus kehilangan hak warga negaranya yang lain.
Golput memang bukan sikap yang ideal, karenanya kita sayangkan jika sikap itu yang harus dipilih. Masalahnya, sejauh sumber cara berpolitik belum lurus benar, sejauh itu pula muncul apatisme politik di kalangan masyarakat. Demokrasi yang baik adalah menghilangkan sumber dan inti persoalan yang menimbulkan apatisme dan golput. O
Tidak ada komentar:
Posting Komentar